close

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

27.7 C
Jakarta
Kamis, September 25, 2025

Jejak Spiritualitas dan Ekologi: Haul ke-108 Mbah Yai Nur di Balong Kramat Kemuningsari Lor

Jember – Suasana Desa Kemuningsari Lor, Kecamatan Panti, Jember, terasa berbeda pada rabu pagi 17/09/25). Ratusan warga berbondong-bondong menuju Balong Kramat Mbah Yai Nur untuk mengikuti rangkaian Haul ke-108 sang ulama kharismatik.

Di bawah teduhnya pepohonan, doa, lantunan sholawat, dan semangat kebersamaan berpadu menjadi satu.

Haul Mbah Yai Nur bukan sekadar ritual tahunan. Lebih dari itu, ia menjadi ruang refleksi atas warisan spiritual, sosial, dan ekologis yang ditinggalkan sejak lebih dari seabad silam.

“Haul ini bukan hanya ruang penghormatan kepada beliau, tetapi juga pengingat bagi kita semua akan warisan yang ditinggalkan: air, iman, dan kehidupan yang lestari,” kata salah satu panitia haul saat ditemui di lokasi acara.

Balong Kramat: Sumber Air, Sumber Kehidupan

Balong Kramat Mbah Yai Nur merupakan pusat kegiatan haul. Sumber air ini diyakini masyarakat sebagai jejak dakwah dan pengorbanan Mbah Yai Nur, seorang ulama yang sejak awal abad ke-20 menjadi suluh spiritual kawasan lereng selatan Hyang Argopuro.

“Balong ini bukan hanya air, tapi simbol kearifan dan ketekunan menjaga alam. Di sinilah kami belajar menyelaraskan doa dengan tindakan nyata,” kata Irham Firdaruzziar, Ketua Rumah Tunjung Indonesia.

Menurutnya, masyarakat setempat telah menjaga sumber air ini sebagai warisan ekologis yang harus dipelihara lintas generasi.

Prosesi Tilik Sumber

Prosesi utama haul adalah Tilik Sumber, tradisi mengelilingi Balong Kramat sebanyak tujuh kali, melambangkan tujuh sumber mata air yang menyokong kehidupan tujuh desa di sekitarnya.

Prosesi ini dipimpin oleh tujuh tokoh masyarakat: Kyai Mahfudz Pengasuh Ponpes Nahdatul Arifin, Camat Panti, Kepala Desa Kemuningsari Lor, Ketua Yayasan, Ketua Rumah Tunjung Indonesia, Juru Kunci Balong Kramat, dan Ketua Panitia Haul.

Baca juga  Bupati Jember Launching penerbangan Bandara Notohadinegoro

Lantunan sholawat mengiringi langkah para tokoh, menciptakan suasana khidmat yang menggetarkan. Setiap putaran dimaknai sebagai doa yang tidak pernah putus, penghormatan kepada alam dan leluhur, serta tekad bersama menjaga keberlanjutan hidup.

Tradisi Leginn: Mengikat Sosial dan Spiritual

Selain Tilik Sumber, Haul ke-108 juga diramaikan oleh tradisi Leginn, sebuah laku budaya yang dilaksanakan pada malam sebelum puncak haul. Tradisi ini menggabungkan gotong royong, penyucian hati, dan kebersamaan warga sebagai persiapan menyambut hari besar.

“Tradisi Leginn adalah contoh nyata bagaimana spiritualitas bisa menguatkan solidaritas sosial,” tambah Irham. “Kami percaya, menjaga keseimbangan antara budaya, agama, dan lingkungan akan membawa keberkahan bagi generasi mendatang.”

Menghidupkan Kearifan Lokal

Panitia haul menyebutkan, melalui Tilik Sumber, Leginn, dan haul tahunan, masyarakat Kemuningsari Lor membuktikan bahwa ritual keagamaan, kearifan lokal, dan kepedulian lingkungan dapat berjalan seiring.

“Air adalah berkah, doa adalah penopang, dan kebersamaan adalah kekuatan,” ujar Ketua Panitia Haul menutup acara.

Haul ke-108 Mbah Yai Nur di Balong Kramat Kemuningsari Lor ini bukan sekadar nostalgia spiritual, tetapi juga pengingat akan tanggung jawab bersama menjaga sumber kehidupan—baik air maupun nilai-nilai yang diwariskan leluhur.

Trending
Berita terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini